Hubungan Kerja
Hubungan kerja adalah hubungan
antara pekerja dan pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian kerja, di mana
pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan
kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Pasal 50 UU
No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja. Pasal 16 a KUH
Perdata disebutkan Kualifikasi mengenai adanya pekerjaan dan di bawah perintah
orang lain menunjukkan hubungan subordinasi atau juga sering dikatakan sebagai
hubungan diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan yang dilaksanakan
pekerja didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha. Undang-undang
Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian
kerja dalam Pasal 1 Ayat yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban para pihak. Di dalam perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus
dipenuhi yaitu adanya unsur work atau pekerjaan, adanya servis atau pelayanan,
adanya unsur time atau waktu tertentu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal. Sedangkan perjanjian kerja akan menjadi sah jika memenuhi ketentuan yang
diatur dalam KUH Perdata yaitu :
·
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya Arti kata sepakat adalah bahwa kedua subyek
hukum yang mengadakan perjanjian harus setuju mengenai hal-hal yang pokok dari
perjanjian yang diadakan. Perjanjian tersebut dikehendai secara timbal balik
·
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan Subyek hukum yang membuat perjanjian harus cakap
menurut hukum. Pada asasnya setiap orang harus sudah dewasa atau akil baliq dan
sehat pikirannya disebut cakap menurut hukum. Di dalam Pasal 1330 KUH Perdata
dijelaskan orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah orang yang
belum dewasa, mereka yang berada di bawah pengampuan, dan orang perempuan dalam
hal-hal yang ditetapkan oleh dan semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian tertentu.
·
Sesuatu
yang diperjanjikan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit
harus ditentukan jenisnya. Barang tersebut harus sudah ada atau sudah berada
atau sudah ada atau berada di tangan si berhutang pada waktu perjanjian dibuat,
tidak diharuskan oleh undang-undang.
·
Sebab
yang halal, isi dari perjanjian itu sendiri. Sebagai bagian dari perjanjian
pada umunnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian
kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata. Ketentuan secara khusus yang mengatur tentang perjanjian
kerja adalah dalam Pasal 52 Ayat (1) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaaan,
yaitu :
a. Kesepakatan kedua
belah pihak Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi
yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
kerja harus setuju/sepakat, seia sekata megenai hal-hal yang diperjanjikan
b. Kemampuan atau
kecakapan melakukan perbuatan hukum Kemampuan dan kecakapan kedua belah pihak
yang membuat perjanjian maksudnya adalah pihak pekerja maupun pengusaha cakap
membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang
bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan
umur minimal 18 tahun (Pasal 1 Ayat 26) UU No. 13/2003. Selain itu seseorang
dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwa dan
mentalnya
c. Adanya pekerjaan
yang diperjanjikan Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian
kerja antara pekerja dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan
kewajiban para pihak.Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
d. Obyek perjanjian
harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. ketertiban
umum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu
unsure perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Pembedaan mengenai jenis
perjanjian kerja, yaitu berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan
perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan tertentu. Tidak semua
jenis pekerjaan dapat dibuat dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Pasal 57
Ayat 1 UU 13/2003 mensyaratkan bentuk PKWT harus tertulis dan mempunyai 2
kualifikasi yang didasarkan pada jangka waktu dan PKWT yang didasarkan pada
selesainya suatu pekerjaan tertentu (Pasal 56 Ayat (2)UU 13/2003). Secara
limitatif, Pasal 59 menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat diterapkan untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang
sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama, paling lama 3 tahun, pekerjaan yang bersifat musiman
dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajagan. Berbeda dengan perjanjian kerja waktu
tidak tertentu (PKWTT),yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap. Masa berlakunya PKWTT berakhir
sampai pekerja memasuki usia pensiun, pekerja diputus hubungan kerjanya,
pekerja meninggal dunia. Bentuk PKWTT adalah fakultatif yaitu diserahkan kepada
para pihak untuk merumuskan bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak
tertulis. Hanya saja berdasarkan Pasal 63 Ayat (1) ditetapkan bahwa apabila
PKWTT dibuat secara lisan, ada kewajiban pengusaha untuk membuat surat
pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan
masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan dalam hal demikia,
pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Hal
ini dijelaskan dalam Pasal 60 Ayat (1) dan (2) UU 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Campur tangan pemerintah dalam hukum
ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan perburuhan yang adil,
karena jika hubungan antara pekerja dan pengusaha yang sangat berbeda secara
sosial ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan akan sulit tercapai karena
pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah.
Comments
Post a Comment